Selasa, 29 Maret 2016

Perkara Sirik Bahasa Sunda Menurut Agus Mulyadi


Saya sering bertemu dengan orang Sunda yang bisa dan lancar berbahasa Jawa, namun jarang menemukan orang Jawa yang bisa dan lancar berbahasa Sunda. Saya tak tahu pasti, apakah ini memang pengaruh bakat poliglot orang Sunda yang lebih tinggi ketimbang orang Jawa, atau memang karena faktor lain, tapi yang pasti, memang selama ini yang saya rasakan, orang Sunda yang lancar ngomong bahasa Jawa jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang orang Jawa yang lancar ngomong bahasa Sunda.

Dan sialnya, saya sendiri termasuk salah satu dari bagian anomali tersebut.

Setahun saya bekerja di Sukabumi, dan saya sama sekali tak bisa berbahasa Sunda, bahkan sekadar mengerti atau memahami percakapan Sunda pun saya tak bisa. Satu-satunya kalimat bahasa Sunda yang bisa saya lafalkan dengan penuh hanyalah kalimat “Tukar tambah kabogoh maneh jeung kabogoh aing jeung beas dua liter” (itupun karena kalimat tersebut banyak termaktub di stiker-stiker yang banyak tertempel di angkot di Sukabumi).

Perkara Sirik Bahasa Sunda Menurut Agus Mulyadi
Sebagai orang Jawa yang ndak bisa lancar berbahasa Sunda, tentu saya sering kali merasa "sirik" dengan orang Sunda yang bisa lancar berbahasa Jawa. Ya rasanya kurang sreg saja gitu, menganggu mekanisme keadilan saling silang.

Dulu sewaktu saya kerja di salah satu tabloid di Sukabumi, bos saya adalah orang Sunda asli, dia adalah atasan yang baik, kreatif, dan sangat liberal. Tipe bos ideal untuk perusahaan di jaman digital seperti sekarang ini. Kendatipun begitu, saya sering sirik sama beliau, alasannya ya itu tadi, karena ia termasuk orang Sunda yang bisa berbahasa Jawa, ya ndak lancar-lancar banget sih, tapi minimal beliau paham dengan banyak kosakata umum dalam bahasa Jawa.

Beberapa kali saya pernah "menyerang" beliau dengan argumen-argumen sentimen soal bahasa Sunda. Dan salah satu serangan yang hingga kini tak akan pernah saya lupakan adalah serangan soal ketidakkompakan orang Sunda dalam berbahasa.

“Pak Feri (nama bos saya Feryawi, sering dipanggil pak Feri), orang sunda itu ndak kompak ya pak,” kata saya waktu itu.

“Ndak kompak gimana?” balas beliau

“Yo ndak kompak pak, gini lho, kalau dalam bahasa Indonesia kan ada kata apa, kalau dalam Betawi jadi ape, dalam bahasa Padang jadi apo, trus dalam bahasa Jawa jadi opo, nah, masak dalam bahasa sunda kok malah jadi naon, darimana itu? yang lain cuma main otak-atik vokal thok: apa, ape, opo, apo. Giliran sunda kok jadi naon, itu kan ndak kompak pak!” kata saya dengan intonasi setengah mengejek

Bos saya itu cuma nyengir kecut mendengar penjelasan saya. Beliau tidak mampu membantah, seakan mengaminkan argumen saya. Dan entah mengapa, melihat pak Bos saya nyengir begitu, rasa sirik saya akan orang sunda jadi sedikit terobati. Saya jadi mesam-mesem sendiri.

“Tapi asal kamu tahu gus,” kata Bos saya mendadak, membuyarkan eseman saya, “bukan cuma orang Sunda saja yang nggak kompak, orang Jawa juga!” lanjutnya.

“Lho lho lho..., bagian mananya yang ndak kompak pak?” tanya saya mencoba mengadu argumen.

“Lha itu, kalau dalam bahasa Indonesia ada kata kemana, Sundanya jadi kamana, Betawi jadi kemane, trus Padang jadi kemano, mosok bahasa Jawa jadinya nangdi, kompak dari mana itu? kompak dari Hongkong?”

Jawaban Pak Feri membuat saya tertohok mak tratap, saya kena touche, dan tak bisa membantah, Trembelane tenan.

Setelah itu, Pak Feri lah yang kemudian mesam-mesem sendiri, dan giliran saya yang nyengir kecut.

Mendadak, rasa sirik saya sama orang Sunda kembali tinggi.

Postingan ini diambil dari Blog Agus Mulyadi

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan tutur bahasa yang baik dan benar.